- Back to Home »
- Tangisan Untuk Adikku
Posted by : Unknown
Rabu, 28 Maret 2012
Aku dilahirkan di sebuah dusun
pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari. orang tuaku membajak tanah
kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang
adik, tiga tahun lebih muda dariku. Yang mencintaiku lebih daripada aku
mencintainya. Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis
di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci
ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di
depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.
"Siapa yang mencuri uang
itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah
tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan. "Baiklah, kalau
begitu, kalian berdua layak dipukul!" Dia mengangkat tongkat bambu itu
tingi-tinggi. Tiba-tiba. Adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah.
aku yang melakukannya!" Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku
bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya
sampai Beliau kehabisan napas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata
kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal
memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul
sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"
Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku
dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air
mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis
meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata.
"Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi." Aku
masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju
mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan
seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia
melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.
Ketika adikku berada pada tahun
terakhirnya di SMP. ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat
yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas provinsi. Malam itu.
ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus.
Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu
baik.hasil yang begitu baik" Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan
menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai
keduanya sekaligus?" Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah
dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup
membaca banyak buku."
Ayah mengayunkan tangannya dan memukul
adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat
lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan
kamu berdua sampai selesai!" Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah
di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku
bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus
meneruskan sekolahnya. Kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang
kemiskinan ini." Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi
meneruskan ke universitas.
Siapa sangka keesokan harinya, sebelum
subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan
sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan
meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas
tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang."
Aku memegang kertas tersebut di atas
tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang.
Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.
Dengan uang yang ayahku pinjam dari
seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada
punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga. Suatu
hari. aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan
memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!"
Mengapa ada seorang penduduk dusun
mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya
kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu
tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?"
Dia menjawab, tersenyum, "Lihat
bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah
adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?"
Aku merasa terenyuh. dan air mata
memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat
dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah
adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..." Dari
sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. la
memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis
kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu.
"Aku tidak dapat menahan diri
lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan
menangis. Tahun itu. ia berusia 20. Aku 23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke
rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di
mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan
ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk
membersihkan rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu
adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu
melihat luka pada tangannya? la terluka ketika memasang kaca jendela baru
itu."
Aku masuk ke dalam ruangan kecil
adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku
mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan membalut lukanya. "Apakah itu
sakit?" Aku menanyakannya.
'Tidak, tidak sakit. Kamu tahu. ketika
saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap
waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan." Ditengah kalimat itu
ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya. dan air mata mengalir
deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di
kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan
tinggal bersama kami. Tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali
meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju
juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu saja. Saya akan menjaga ibu dan
ayah di sini."
Suamiku menjadi direktur pabriknya.
Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan.
Tetapi adikku menolak tawaran tersebut, la bersikeras memulai bekerja sebagai
pekerja reparasi.
Suatu hari. adikku di atas sebuah tangga
untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk
rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada
kakinya, saya menggerutu. "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak
akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu
sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami
sebelumnya?"
Dengan tampang yang serius pada
wajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan kakak ipar --ia baru saja
jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer
seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?"
Mata suamiku dipenuhi air mata. dan
kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: 'Tapi kamu kurang pendidikan
juga karena aku!" "Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku
menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.
Adikku kemudian berusia 30 ketika ia
menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya,
pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu
hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab,
"Kakakku."
la melanjutkan dengan menceritakan
kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi
sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya
berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari.
Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari
kepunyaannya, la hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami
tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai
ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya
masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."
Tepuk tangan membanjiri ruangan itu.
Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku.
Kata-kata begitu susah kuucapkan
keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih
adalah adikku." Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini. di depan
kerumunan perayaan ini. air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.
Sumber: e-book motivas & pengembangan diri.